Google Tenganan Dan Tradisinya / Waliangers

.


Tenganan Dan Tradisinya



Tenganan dan Tradisi Megeret Pandan - Bali sebuah pulau kecil diantara hamparan ribuan pulau di Indonesia, menyimpan berbagai khasanah budaya yang masih lestari sampai saat ini. Ragam budaya itu, menjadi magnet yang menarik wisatawan datang ke pulau Bali. Karangasem sebagai kabupaten kecil dengan luas wilayah 839,54 Km, yang terdiri dari 8 Kecamatan dan 78 desa/kelurahan dengan kontur lahan 91,26% merupakan lahan kering, juga menyimpan sejumlah khasanah budaya yang masih terjaga hingga sekarang. Diantaranya 78 desa/kelurahan yang ada di Karangasem, khasanah budaya yang masih lestari hingga saat ini terlihat di Tenganan Pegringsingan, Manggis, Karangasem.

Tenganan Pageringsingan sudah lama menjadi ikon pariwisata Karangasem. Bagaikan magnet, Tenganan sudah menyedot jutaan wisatawan yang datang, karena terpesona dengan peradaban masyarakatnya yang menganut aliran Indra. Salah satu daya tarik desa Tenganan adalah digelarnya Aci Perang Pandan terkait pelaksanaan upacara Usabha Sambah di Pura Puseh setempat. Jero Mangku Widia, pemangku di desa setempat dalam suatu kesempatan menyebut, (15/6) tahun 2011 adalah puncak digelarnya atraksi perang pandan yang merupakan simbol prajurit kesatria dewa Indra, ketika bertempur melawan menundukkan keangkaramurkaan Maya Danawa. Hal ini sekaligus menggambarkan mitos sebagai wujud rasa bakti pada leluhur yang ditandai luka dan tetesan darah ketika megeret pandan.

Megeret pandan merupakan budaya di desa Tenganan, perang-perangan menggunakan perisai dari anyaman ate berbentuk bulat dan daun pandan berduri tajam yang dipegang, dan dijadikan senjata untuk melukai lawan. Bagi krama teruna setempat, megeret pandan merupakan ritual wajib sebagai simbol menunjukkan jiwa kesatria sebagai pewaris dan penerus terah wangsa wong baliaga, Tenganan Pageringsingan. Prosesi geret pandan sendiri digelar setelah dilakukan prosesi upacara di Pura Puseh, yang berangkai dilakukan sebelum dan sesudah atraksi geret pandan digelar sebagai puncak upacara Usabha Sambah. Usabha Sambah sendiri adalah salah satu bentuk upacara rutin tahunan yang dilaksanakan setiap sasih kelima menurut versi perhitungan sasih di desa setempat.

Sejarah Tenganan Pegrisingan
Sejarah desa Tenganan Pegringsingan menurut V.E Korn, R. Goris W.Weck, yang meneliti budaya setempat, menyebut ditemukan adanya suatu peninggalan yang menunjukkan kekunoan. Kekunoan itu ditandai dengan peninggalan zaman megalitikum di desa Tenganan Pageringsingan. Sementara Jero Mangku Widia mengatakan, bahwa prasasti yang ada di desa Tenganan Pagringsingan yang memuat asal-usul sejarah terjadinya desa tersebut, sudah tidak ada. Karena sekitar tahun 1841 atau tahun 1763 (içaka) di desa tersebut mengalami musibah kebakaran. Namun demikian, adanya beberapa duplikat, mengatakan bahwa Desa Tenganan membawahi wilayah hingga Candidasa yang berada di pinggir laut sebelah selatan desa, dan sebelah timur desa, berbatasan dengan sebuah batu besar sebagai tonggak batas wilayah dengan Dusun Samuh ditimurnya.

Menurut uraian buku cerita Usana Bali, penduduk desa Tenganan disebutkan merupakan keturunan penduduk Bali yang berasal dari Desa Peneges, di sebuah Kerajaan Bali yang bernama Bedahulu, dengan rajanya Mayadenawa, yang bertahta di Desa Bedahulu, Blahbatuh, Gianyar. Dalam pemerintahannya Raja Mayadenawa terkenal sebagai seorang raja yang sakti. Namun sifatnya angkara murka, sombong, dan tidak mengakui adanya Tuhan. Selama pemerintahannya, rakyat Bedahulu (Peneges) dilarang untuk melakukan persembahyangan (Ngaturang Aci) kepada para Dewata. Sehingga selama masa pemerintahannya, masyarakat tidak diperkenankan melaksanakan upacara agama untuk menyembah Dewata. Adanya kenyataan ini, menyebabkan para Dewa murka, kemudian diutuslah Betara Indra turun ke dunia guna memerangi Raja Mayadenawa. Dalam pertempuran tersebut Raja Mayadenawa mengalami kekalahan. Untuk menghormati jasa kemenangan Betara Indra, Raja Mayadenawa memerintahkan kembali seluruh rakyat Bedahulu untuk aktif kembali melakukan upakara/upacara agama, termasuk melakukan atraksi geret pandan.

Menurut sejarah, Yadnya yang dilakukan tersebut, disebut Aswameda Yadnya dengan mengorbankan seekor kuda yang disebut Oncesrawa sebagai caru. Diceritakan, sebelum upacara tersebut berlangsung tiba-tiba Kuda Oncesrawa menghilang dari istana. Untuk mencari jejak kuda tersebut, kemudian diperintahkan oleh Betara Indra orang-orang dari Desa Peneges untuk mencari kuda itu. Dalam pencarian itu mereka membagi diri menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama bertugas mencari ke arah barat laut. Kelompok ini tidak berhasil menemukannya, dan kini dikenal sebagai penduduk Kabupaten Buleleng. Sementara kelompok lainnya bertugas mencari kebagian arah timur laut. Pada kelompok ini berhasil menemukan kuda itu di lereng bukit, sebelah timur Desa Tenganan Pegringsingan sekarang. Tetapi kuda Oncesrawa sudah dalam keadaan mati. Pada daerah tempat kuda itu ditemukan, kini dikenal dengan sebutan Batu Jaran.

Kain Gringsing
Daya tarik lain dari desa Tenganan adalah kain geringsing yang memiliki mitos dibuat dengan darah manusia, namun kini sudah diganti dengan getah kayu sunti yang hanya ada di nusa penida. Menurut warga setempat, dalam proses pembuatannya sangat rumit, dengan teknik double ikat yang memakan waktu cukup lama, serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaanya alamiah. Proses pewarnaannya yang memakan waktu bertahun-tahun, melambungkan harga kain itu sendiri. Terdapat tiga warna yang dominan dalam setiap helai kainnya, merah, kuning atau putih, dan hitam. Warna merah didapat dari kulit akar mengkudu, kuning dari kemiri dan hitam dari sejenis semak. Kain ini mempunyai makna yang terkait dengan unsur-unsur yang terkandung di alam semesta. Warna kuning melambangkan unsur udara. Warna merah mewakili unsur api. Warna hitam berarti air. Bila ketiga unsur alam ini ada salah satu yang terganggu maka tubuh manusia akan sakit. Ini artinya manusia tidak terlepas dari alam di sekitarnya. Bila tidak dijaga dan sampai rusak, alam akan hancur seiring dengan manusia yang tinggal di dalamnya.

Kain gringsing juga banyak diperlukan orang lain, karena dapat digunakan untuk keperluan upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya. Menurut pandangan orang Tenganan, kain gringsing mengandung nilai magis. Dikatakan demikian karena kata gringsing berasal dari dua kata, yaitu gring yang berarti ‘sakit’ atau ‘penyakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’ atau ‘menolak’. Dari kedua akar kata tersebut yaitu kata gering dan sing bila disatukan akan menjadi kata gringsing yang berarti ‘tidak sakit atau menolak penyakit’ yang diperkirakan akan dapat terhindar dari segala penyakit.

Masyarakat Tanpa Kelas
Keunikan desa ini adalah tidak mengenal istilah kasta alias masyarakat tanpa kelas. Nenek moyang mereka menganut kepercayaan Dewa Indra yang dipengaruhi oleh Majapahit dan Hindu. Setiap jengkal tanah di desa ini adalah tanah milik desa, mulai dari pemukiman, hutan, kebun dan sawah. Status kepemilikan tanah adalah milik bersama, komunal. Kepemilikan pribadi dilarang di desa ini. Semua lahan yang ada digunakan untuk kepentingan bersama dan dikelola masyarakat. Masyarakat hidup dalam suasana egaliter.

Rumah sudah disediakan bagi para pasangan yang baru saja menikah. Mereka diberi tenggat tiga bulan untuk hidup mandiri dan lepas dari orang tuanya. Kemudian mereka memilih lahan untuk dibangun rumah dengan memberitahukan ke kepala desa. Saat itu juga lahan pilihan mereka secara sah sudah menjadi sebuah tempat tinggal keluarga baru di desa adat.

Kebun dan lahan yang ada diolah bersama dengan pembagian 1:1 antara pemilik pohon atau kebun dengan pihak yang merawatnya. Keserakahan yang merusak hubungan sosial sangat ditentang dengan adanya aturan bagi hasil seperti ini. Hasil dari pohon, misalkan buah, tidak dengan sendirinya menjadi hak si pemilik pohon. Namun yang dapat menikmati buah tersebut adalah orang yang menunggui buah saat jatuh di bawah pohon itu. Aturan ini bermakna untuk mengingatkan pemilik pohon agar berbagi dengan orang yang membutuhkan, bukan semata dinikmati sendiri.

Kearifan Lokal
Tentang pola kepemilikan atas tanah seperti inilah yang membuat desa adat tidak tergerus oleh tangan-tangan luar. Privatisasi oleh orang asing menjadi sesuatu yang haram di dalam desa adat. Kerusakan alam akibat eksploitasi alam yang mengakibatkan bencana, terhindar dengan adanya kearifan lokal. Di desa adat ini, hutan tidak bisa dijual kepada korporasi yang selama ini telah terbukti menggundulkan hutan dan mengeruk tanah ratusan meter dalamnya. Tanah masyarakat desa adat tidak bisa ditenggelamkan akibat kesalahan penambangan.

Bencana “alam” yang sesungguhnya ditimbulkan oleh tangan manusia sendiri, semestinya dapat dihindari bila manusia mau berkaca dari alam. Adalah tepat bila Gandhi pernah berujar bahwa bumi ini cukup untuk menghidupi manusia yang tinggal di dalamnya, tapi bukan untuk keserakahan satu manusia.



Artikel Lainnya :


Description: Tenganan Dan Tradisinya

Rating: 4.5

Reviewer: Unknown

Item Reviewed: Tenganan Dan Tradisinya

Photobucket


Waliangers. Powered by Blogger.

Blog Archive