Google Penalti dan Game Theory / Waliangers

.


Penalti dan Game Theory



Edwin Van der Sar
Delapan puluh ribu penonton di Stadion Luzhniki, Moskow, menahan napas. Di titik putih, Anelka meletakkan bola. Menjadi algojo terakhir adu penalti jelas bukan tugas ringan. Chelsea, timnya, sudah tertinggal 5-6 dalam adu penalti di final Liga Champions 2008 melawan Manchester United. Nasib Chelsea kini ada di tangannya. Jika dia gagal, piala menjadi milik The Red Devils. Sebaliknya, jika gawang Edwin van der Sar jebol, Chelsea bisa selamat. Kedudukan imbang akan membuka peluang Chelsea menang.

Di bawah mistar, si jangkung Van der Sar bersiap. Kiper MU ini merentangkan kedua tangan. Seolah tak sengaja, telunjuk kirinya menunjuk-nunjuk sudut gawang. Ia seperti berkata, ”Ayo, Anelka… kamu akan menembak ke kiriku, kan? Lakukan!” Anelka tertegun. Ketika wasit meniup peluit, dia menendang keras. Bola melejit ke sudut kanan gawang, bersamaan dengan loncatan Van der Sar ke arah yang sama. Bola tertepis, Anelka gagal! Chelsea kalah dalam final yang menyesakkan dada itu.

Bertahun kemudian, Simon Kuper dan Stefan Szymanski menulis adegan itu dalam buku Soccernomic. Buku yang menarik, mengupas sepak bola dari sudut pandang ilmu ekonomi dan statistik. Adegan Anelka vs Van der Sar itu, kata mereka, adalah contoh bagaimana Game Theory digunakan.

Game Theory dikembangkan ahli matematika John van Neumann pada 1940-an. Teori ini sederhana: setiap langkah manusia akan dipengaruhi (dan mempengaruhi) reaksi lawan. Meski sederhana, penerapan teori ini sangat luas. Ia bisa menjelaskan reaksi timbal balik Amerika dan Uni Soviet di era Perang Dingin. ”Bila Uni Soviet menambah bom nuklir, kita melakukan hal yang sama, lalu Soviet tak berani menggunakannya. Tapi, bila mereka mengebom, kita membalas, dan seterusnya”.
Teori ini juga dipakai di kelas-kelas ilmu ekonomi untuk meramal gerak pesaing di pasar. Syarat pemakaian teori ini adalah, masing-masing pihak berusaha sebanyak mungkin tahu mengenai perilaku dan kekuatan lawan. “Kenalilah lawanmu, kau akan menang,” kata ahli perang Sun Tzu.

Itu pula yang terjadi saat Anelka bersiap menembak dari titik penalti. Dengan cerdik, Van der Sar menunjuk sisi kiri gawang, berlagak tahu ke situlah Anelka akan menembak. Hasilnya, Anelka menghindari tembakan ke kiri karena mengira Van der Sar tahu dia akan menembak ke sisi itu.

Mengapa Van der Sar meloncat ke sisi kanan hingga bola tertepis? Rupanya, ini memang kecenderungan khas si jangkung. Adalah Ignacio Palacios-Huerta, ahli statistik Spanyol, yang rajin mengumpulkan ciri khas pemain bola kelas dunia, termasuk Van der Sar. Setelah melihat sekian puluh rekaman aksi gawang Van der Sar, dia menyimpulkan bahwa kiper ini akan meloncat ke kanan jika penendangnya tidak kidal. Sebaliknya, bila penendang kidal dan menyepak dengan kaki kiri, dia akan meloncat ke kiri. Anelka bukan kidal, maka dia cenderung menembak ke kanan kiper. Seharusnya, kata Ignacio, Anelka menembak ke sudut kiri walau Van der Sar sudah berlagak tahu dia akan menembak ke sudut itu.

Ignacio juga meramalkan perilaku Cristiano Ronaldo yang dalam adu penalti itu gagal melesakkan bola ke gawang Peter Cech, kiper Chelsea. Kata Ignacio, Ronaldo biasa ber-paradinha--berhenti kala berlari menuju bola untuk mengecoh kiper. ”Jika dia berhenti, 85 persen ada kemungkinan menembak ke sisi kanan kiper.” Ramalan ini disampaikan kepada Avram Grant, pelatih Chelsea, dan dibisikkan kepada Cech. Hasilnya, Cech meloncat ke kanan, tembakan Ronaldo pun terblokir.

Tak hanya meramal arah tendangan, Ignacio juga membisikkan, dalam adu penalti, bahwa tim penembak pertama berpeluang menang 60 persen. Mengapa? Karena mental tim berikutnya terbebani untuk menyamakan kedudukan. Benar saja. MU mendapat giliran pertama, dan menang.

Begitulah. Sepak bola bukan cuma soal keterampilan individu dan kerja sama tim. Butuh analisis tajam dan data lengkap untuk menebak permainan lawan. Sekarang Piala Eropa telah masuk sistem gugur dengan kemungkinan adu penalti. Pasti semua tim sudah saling intip data lawan. Tapi statistik tetaplah statistik. Dia hanya mampu meramal peluang. Itu pun tidak 100 persen. Hanya sepak bola gajah yang bisa diatur siapa pemenangnya. Jika data sudah lengkap tapi tetap kalah juga, benarlah ungkapan ”bola itu bundar”, tak mudah diatur.

Sumber : Tempo
Penulis: Daru Priyambodo

Baca juga :

 


Artikel Lainnya :


Description: Penalti dan Game Theory

Rating: 4.5

Reviewer: Unknown

Item Reviewed: Penalti dan Game Theory

Photobucket


Waliangers. Powered by Blogger.

Blog Archive