.
Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu. Ilmu leak sama dengan ilmu lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.
Jaman dahulu, ilmu leak tidak dipelajari sembarang orang. Ini karena ilmu leak masuk kategori ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar.
Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia. Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah, otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti.
Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul. Ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat dan seringkali dicap sebagai ilmu leak.
Leak itu memang ada dan dibagi sesuai dengan tingkatan ilmunya, termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka sedang latihan atau lagi bercengkrama dengan sesama leak lainnya, baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya 'endih' itu pada saat malam hari khususnya tengah malam.
Mengapa ditempat angker?
Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disamaratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana.
Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri.
Bentuk 'endih leak' ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada yang berwujud seperti bola atau kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai).
'Endih' atau sinar Leak di Bali ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya. Endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Bagi yang pernah melihatnya, 'endih' berjalan sesuai dengan arah mata angin. Endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam. Warnanya pun berbeda-beda. Kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan berjalan sedangkan, sinar penerangan biasa hanya satu warna dan diam. Endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet.
Ilmu leak tidak menyakiti
Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas.`Bersikap sewajarnya saja.`Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas. Endih juga tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat 'niskala' atau gaib, tidak bisa dijamah.
Pada dasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu).
Filosofi Leak Ngendih di Bali Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.
- Si adalah mencerminkan Tuhan
- Wa adalah anugrah
- Ya adalah jiwa
- Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
- Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa
Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api). Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut.
Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui 'ngelekas' atau 'ngerogo sukmo'. Kata 'ngelekas' artinya kontaksi batin agar badan astra kita bisa keluar.
Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut 'angeregep pengelekasan'. Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut 'endih'.
Bola cahaya melesat dengan cepat. Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu).
Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya. Sebab tidak semua orang bisa melihat endih. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak.
Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati.
Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya.
Begini bunyi doa leak memberikan berkat : ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.
Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu.
Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan.
Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian? Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit.
Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa.
Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan. Di Jawa tradisi ini disebut tirakat.
Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak.
Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api. Kemudian ada Leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, dan leak siwa klakah. Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan.
Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi bagi yang mempelajarinya sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut 'penestian'. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.
Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.
'Pengiwa' banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di laboratorium rumah sakit.
Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya, ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni…dan seterusnya.
Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali. Dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.(litbang bbcom/berbagai sumber)
Description: " Leak " Warisan Hindu Bali Kuno
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown
Item Reviewed: " Leak " Warisan Hindu Bali Kuno
Description: Tv Streaming
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown
Item Reviewed: Tv Streaming
If you have reason to believe that one of our content is
violating your copyrights or some of Search Results references to
illegal contents, please contact us using the contact menu we provide.
Please
allow up to a 1-3 business days for an email response. Note that
emailing your complaint to other parties such as our Internet Service
Provider, Hosting Provider, and other third party will not expedite your
request and may result in a delayed response due to the complaint not
being filed properly.
Required information
Please note that we deal only with messages that meet the following requirements:
Please Provide us with your name, address and telephone number. We reserve the right to verify this information.
Explain which copyrighted material is affected.
Please provide the exact and complete to the url link.
If it a case of files with illegal contents, please describe the contents briefly in two or three points.
Please ensure that you can receive further enquiries from us at the e-mail address you are writing from.
Please write to us only in English.
Notice:
Anonymous or incomplete messages will not be dealt with. Thank you for your understanding.
Disclaimer:
This
site does not host any illegal content, files or software. We respect
Copyright Laws. If You have found the link to an illegal content, please
report it to us using the contact menu. We will remove it in 1-3
business days.
Thank you.
Admin
Description: DMCA
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown
Item Reviewed: DMCA
Lontar Pengayam Ayam dan Dharma Pejuden Sabung ayam, alias tajen, sudah lama tumbuh dan berkembang di Pulau Dewata. Sejak belasan generasi sebelumnya hingga kini, tajen telah merasuk ke sebagian warga, terutama laki-laki. Dulu tajen biasa dilakukan di tempat khusus, yakni di wantilan yang umum ada di setiap desa. Gedung beratap “bertumpang” (kubah ganda) itu, bagian lantainya terdiri atas beberapa undak, mengerucut miring ke pelataran, yang jadi arena adu ayam. Dengan demikian, semua pengunjung dalam wantilan dapat dengan jelas menonton pertarungan tersebut.
Tapi sejak ada larangan pemerintah terhadap segala bentuk perjudian di tahun 1981, tajen tak lagi bertempat di wantilan. “Adu jotos” ayam jago pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rerimbunan kebun kopi, ladang jagung, tumpukan jerami usai panen, bahkan ... sudut pekuburan.
Datangnya era reformasi memberi angin segar. Tajen tak lagi perlu “mengungsi”. Malah, belakangan tajen menjadi sarana untuk menggalang dana.
Godek di kaki
Sebagaimana tak sembarang jagoan bisa terjun di ring tinju, demikian pula ayam aduan. Ia harus memiliki ciri dan syarat khusus. Selain bentuk kaki, jambul, atau jejuangan (keturunan), juga dilihat apakah ia berasal dari trah ayam berkualitas. Warna bulu, bentuk leher, bahkan komposisi warna bulu (ules) pun dipertimbangkan.
Malah ada kepercayaan mistis berkaitan dengan ayam seperti apa saja yang diizinkan masuk ring tajen. Tapi asal daerah ayam bukan masalah. Tak heran saat ini ayam aduan dalam tajen tidak melulu ayam lokal bali, tetapi juga ayam lombok, jawa, jepang, filipina, bahkan ... amerika! Yang penting ia tidak mempunyai satu flek hitam di kakinya yang disebut raja wilah, atau tidak bercirikan warna merah di seluruh urat, lidah, maupun kulit, yang disebut ayam camah (Brahma). Kedua ayam itu pantang diadu dalam tajen.
Bila pemilik ayam nekad, risikonya bisa berupa perkelahian, atau serangan penyakit dadakan. Tak hanya si pemilik, anggota keluarganya pun bisa menjadi korban.
Dalam kitab anutan bebotoh (petaruh), disebut sebagai Lontar Pengayam-ayam, banyak disinggung tentang ayam yang dijamin tidak keok saat diadu. Selain ciri bawaan ayam yang mendatangkan keberuntungan, hari pertandingan pun berpengaruh. Siapa sangka, setiap jenis ayam memiliki hari baik tersendiri?
Soal perawatan menjadi faktor penting lainnya. Menjelang hari bertarung perhatian ekstra dicurahkan mulai soal makanan, perawatan dengan cara memandikan, mengurut, membedaki kakinya, menjemur, serta melatih si jago agar siap tempur di arena tajen.
Yang unik, arena aduan membedakan ayam berdasar warna dan keadaan bulu sekaligus. Buik (bulunya berwarna-warni), kelau (berbulu abu-abu), bihing (berbulu merah), wangkas (dadanya berbulu putih, sayapnya berwarna merah). Brumbun untuk “petarung” dengan kombinasi bulu merah, putih, dan hitam. Ayam berbulu putih disebut sa.
Sedangkan berdasarkan keadaan bulu, ayam dengan bulu leher sangat lebat dinamai ook. Bila tumbuh bulu (jambul) di kepala, disebut jambul. Godek, untuk ayam yang berbulu di ... kaki!
“Kode” bertaruh
Konon, keberadaan bebotoh amat menentukan ramai-tidaknya tajen. Bahkan tajen dan bebotoh ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan.
Betapa tidak, karena arena tajen sering diramaikan teriakan-teriakan istilah yang tak lazim, antara lain gasal, cok, pada, telude, apit, dan kedapang. Gasal adalah sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat. Cok, sistem taruhan tiga lawan empat, pada (sama) adalah taruhan satu lawan satu. Telude, dua banding tiga, apit menggunakan satu banding dua, sedangkan kedapang sembilan banding sepuluh.
Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar, “petugas” yang melepas ayam sebelum bertarung, terlebih dahulu memperkenalkan setiap ayam dengan cara meletakkannya dalam sebuah segi empat di tengah wantilan. Saat itu, akan tampak mana ayam yang pantas diunggulkan dan mana yang tidak. Misalnya seorang pakembar membawa ayam jambul, sedangkan yang lain membawa ayam kelau. Jika ada bebotoh yang menjagokan ayam jambul, ia berteriak menyambut. Jika hingga pakembar selesai dengan acara perkenalan itu tidak ada bebotoh yang mengunggulkan ayam kelau, otomatis ayam jambul menjadi unggulan. Selanjutnya, para bebotoh riuh menawarkan taruhan.
Bebotoh yang ingin mendapatkan “musuh” biasanya meneriakkan sistem taruhan yang dipilih dari tempatnya, tanpa perlu berkeliling arena. Maka, yang menimpali teriakannya akan menjadi lawan taruhan. Bebotoh pun dapat menggunakan jari tangan sebagai isyarat sistem taruhan yang ia inginkan. Maka lawan yang berminat pun membalas dengan isyarat serupa.
Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai “petarung unggulan”, seseorang yang meneriakkan “cok” berarti memegang ayam yang menjadi lawan si unggulan. Syaratnya, kalau menang ia akan mendapatkan uang sebesar taruhan, sedangkan kalau kalah ia hanya membayar tiga perempat dari jumlah taruhan yang disepakati.
Dalam tajen pun ada wasit, yang disebut saya. Di setiap tajen ada empat saya yang bertugas yakni saya kemong, ketek, garis, dan lap. Saya kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, paling tinggi jabatannya. Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan.
Jika salah seekor ayam aduan sudah terkapar, bebotoh yang kalah akan menghampiri lawan untuk menyerahkan uang taruhan.
Sejak zaman Majapahit
Dalang wayang kulit sekaligus pelaku tajen IB Eka Darma Laksana menuturkan, tajen berasal-usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali. Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya menggunakan binatang kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain.
Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang sata dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai (telung perahatan), yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Perang sata merupakan simbol perjuangan hidup.
“Tradisi ini sudah lama ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200,” ujar Gus Eka, panggilan akrab IB Eka Darma Laksana.
Serupa dengan berbagai aktivitas lain yang dilakukan masyarakat Bali dalam menjalani ritual, khususnya yang berhubungan dengan penguasa jagad, tabuh rah memiliki pedoman yang bersandar pada dasar sastra. Tabuh rah yang kerap diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya pun banyak disebut dalam berbagai lontar. Misalnya, dalam lontar Siwa Tattwapurana yang antara lain menyebutkan, dalam tilem kesanga (saat bulan sama sekali tidak tampak pada bulan kesembilan penanggalan Bali - Red.), Bathara Siwa mengadakan yoga, saat itu kewajiban manusia di bumi memberi persembahan, kemudian diadakan pertarungan ayam dan dilaksanakan Nyepi sehari. Yang diberi kurban adalah Sang Dasa Kala Bumi, karena jika tidak, celakalah manusia di bumi ini.
Sedangkan dalam lontar Yadnya Prakerti dijelaskan, pada waktu hari raya diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet dengan kelengkapan upakara. Bukti tabuh rah merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya di Bali sejak zaman purba juga didasarkan dari Prasasti Batur Abang I tahun 933 Saka dan Prasati Batuan tahun 944 Saka.
Macam-macam tajen
Lantas bagaimana ritual suci semacam tabuh rah berubah menjadi tajen? Menurut Gus Eka, itu tidak lepas dari daya pikat yang ditampilkan dari seni bertarung dua ayam jagoan. Asal tidak melampaui batas secara hukum adat, tajen tidak dilarang. Apalagi aturan main antarsesama bebotoh harus dipatuhi. Aturan itu ternyata juga disebutkan dalam lontar Darma Pajuden. Kalaupun ada yang curang, otomatis tidak akan ada yang mengajaknya bertaruh lagi.
Maka, muncul pemahaman, ada perbedaan jelas antara tabuh rah dan tajen, meski awal mula tajen memang dari pelaksanaan tabuh rah. Tabuh rah adalah rangkaian upacara, berbeda dengan tajen atau krecan (dari kata ica yang artinya tertawa). Jadi, falsafah tabuh rah dan tajen tidak boleh dibaurkan agar tidak menimbulkan degradasi tatwa (nilai).
Meski tergolong sebagai ritual upacara, ternyata tabuh rah tidak dilakukan di semua daerah di Bali. Tapi bila suatu daerah sudah berkeyakinan harus melaksanakan upacara tabuh rah, maka mutlak pula dilakukan. Kalau tidak, justru akan mendatangkan musibah (sima) bagi daerah tersebut.
Pakar hukum adat dari Universitas Udayana Prof. Dr. Nyoman Sirtha, M.S. menyatakan, tajen berawal dari kebiasaan yang bersumber dari pelaksanaan upacara agama saat ada odalan (perayaan tahunan) di pura, yang selalu menghadirkan caru (kurban). Contohnya, upacara pada Dewa Yadnya diikuti dengan persembahan caru, salah satunya dengan menyembelih ayam yang ditujukan kepada butha kala.
Perkembangan selanjutnya, beberapa daerah menyimbolkan penyembelihan ayam dengan mengadu kelapa dengan telur, sampai telurnya pecah. Namun, ada daerah yang mengganti kebiasaan itu dengan cara mengadu ayam, yang akhirnya berkembang menjadi tajen, berasal dari kata tajian, karena setiap kaki kiri ayam aduan selalu dipasangi taji.
Namun secara sosiologis, lanjut Nyoman Sirtha, pelaksanaan tajen ada tiga macam. Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti mencecerkan dan rah adalah darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah dianggap sebagai bagian dari rangkaian pelaksanaan upacara sehingga pelaksanaannya tidak dilarang.
Kedua, tajen terang sengaja digelar desa adat untuk menggalang dana. Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang, bahkan setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen meski tidak tertulis. Tajen terang dilakukan terbuka dengan melibatkan pecalang, saya. Bahkan didahului dengan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.
Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala desa adat serta semata-mata berorientasi judi.
“Ada perbedaan mendasar. Kalau tajen terang, meski memakai taruhan, soal menang dan kalah bukan hal terpenting. Yang utama, mendapat hiburan. Berbeda dengan tajen branangan yang bisa disebut pelalian (bermain), karena rata-rata yang terlibat lebih mengutamakan berjudi, bahkan sampai lupa diri,” ujar Nyoman lagi.
Terlepas dari pandangan serta sorotan tentang tajen, sebenarnya kegiatan ini telah mengacu kepada aktivitas budaya yang rasanya amat sulit untuk dilepaskan dari dinamika kehidupan masyarakat Bali. Beberapa waktu lalu, tajen bahkan telah dikemas sebagai atraksi wisata bagi wisatawan asing. Nyatanya wisatawan asing yang disuguhi atraksi langka itu sangat antusias sewaktu menyaksikannya. Agar lepas dari pendapat pro dan kontra, tajen memang lebih pas bila diteropong dari kacamata budaya Bali.
Description: Tajen
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown
Item Reviewed: Tajen